Cerpen ORIGINAL : Persembahan untuk CINTA
Persembahan
untuk Cinta
Tentang
cinta, yang kudefinisikan ialah bagaimana kita mewujudkan segalanya demi yang
kita sayangi. Ketika aku jatuh cinta pada budaya dan alamnya, maka makin dalam
pula cintaku dengan Bali. Hingga kini dasar lautan pun masih dangkal tuk
gambarkan perasaanku.
Aku
Wayan Pandan Asri, seorang gadis kaum tidak berada, tinggal di kawasan Sanur.
Saat kecil aku melihat langsung bagaimana deburan ombak membawa abu ayahku
pergi. Sebuah penyakit malaria menimpa ayahku semasa hidupnya, ayahku
memaksakan berlayar walau tahu ia sakit. Dan hal itu telah membuat ibuku
pontang-panting mencari sebutir beras. Ibuku yang hanya tamatan SD tidak pernah
membayangkan peristiwa itu bisa menimpa keluarga kecilnya. Keluarga ibuku sama miskinnya
dengan keluarga ayah. Berlandaskan keinginan mempunyai keturunan dan cinta saja
mereka menikah.
Aku
sering melihat foto ibuku saat muda. Aku pernah lihat foto-foto ibuku, dulu dia
amat cantik dengan serat-serat endek yang membungkus tubuhnya. Dia memang
sempurna, sayang saja nasibnya tidak beruntung. Ibuku hanya mengandalkan
keahliannya menjadi tukang sol sepatu semenjak kematian ayah. Sebenarnya jika
berkesempatan ibuku ingin sekali menjahit kain untuk pakaian yang indah. Ibu
bahkan sering mengajakku berkeliling di kawasan wisata demi melihat fashion apa yang kini orang minati. Apa
daya ekonomi keluarga kami yang tidak berada akan amat sulit jika harus
meminjam modal sekalipun.
Ibu
pernah memberitahuku bahwa aku harus menjadi gadis yang cemerlang, harus
berkilau dengan segala keadaan yang kumiliki. Katanya gadis yang cemerlang itu
sama cantiknya dengan Burung Jalak Bali, berhasil memikat hati dengan pesona
yang menawan. Itu kata ibuku sebelum ia juga dipanggil oleh Tuhan yang Maha
Esa.
Kini
aku harus berhasil, setelah ibuku meninggalkan semua ilmu yang dia punya
padaku. Ingin rasanya menghidupkan kembali mimpi ibu yang pernah pupus. Karena
raga yang pergi masih menyisakan mimpi yang berarti.
Aku
menelusuri Sanur dengan setapak demi setapak dengan kakiku. Bagai orang tak
tentu arah aku menawarkan diriku untuk menjadi pegawai tiap toko di Sanur.
Hasilnya apa? Sia-sia. Ya, aku kini harus putar akal.
Aku yang tak pernah
bersekolah dan cuma kekaguman sontak terhenti melihat sebuah kejadian buruk.
Ibu Sinta Wegasarta, orang kaya yang ibuku pernah ceritakan. Dia sama seperti
aku dan ibu, sama-sama cinta Budaya Bali. Dialah orang yang membuka salah satu
gerai toko endek di Bali yang menurut ibuku fashion
pakaiannya amat menawan. Tapi sayang dia suka diam-diam membuang limbah
industrinya ke bantaran sungai.
“Eh, eh Bu Sinta
tunggu!”, aku berusaha mencegah tindakan bodohnya untuk kesekian kalinya.
“Ngapain kamu disini?”,
tanya Bu Sinta dengan judesnya.
“Bu ngapain dibuang
sampahnya ke sungai sih Bu? Kan kasian ikan-ikan di sungainya, nanti tempat
mereka hidup rusak. Terus sampah-sampah ibu juga nyumbat aliran saat hujan!”,
kataku lantang.
“Ya daripada saya bayar
tukang sampah! Biar saja nyumbat, pokoknya saya nggak rugi! Lagian ya ini tuh
nggak bisa diapa-apain lagi kainnya.”, jawab Bu Sinta.
Dasar perhitungan!
Untung saja aku punya ide. Aku ajak Bu Sinta buat kasih semua kain sisa itu
padaku. Bu Sinta akhirnya terbuka mata hatinya, ia mau kerjasama denganku.
Semenjak kejadian itu
Bu Sinta jadi baik padaku dan juga baik kepada alam. Setiap kain-kain sisa
endek yang kudapat dari Bu Sinta aku olah lagi menjadi tas, udeng, dan
pernak-pernik cantik. Bu Sinta bahkan dengan ikhlas memodaliku mengolah
limbahnya.
Sebuah kecantikan yang
cemerlang kini telah kurasakan. Ibu adalah kebaikan dibalik ini semua. Selang 3
tahun lamanya aku dapat membuka toko yang menjual produk daur ulang limbah
endek bersama beberapa tuna karya di sekitar Sanur. Kami menjual produk kami
dengan satu tujuan, mewujudkan cinta yang tak akan bisa diungkapkan untuk Bali
yang mempesona.
Stefanie
Kristiarina Yiwa
Komentar
Posting Komentar